Selamat Datang Di Blog Decka

Selamat Datang Di Blog Decka

Selasa, 18 November 2008

Sript_matlab_Grayscale





function varargout = GUIdemo(varargin)
gui_Singleton = 1;
gui_State = struct('gui_Name', mfilename, ...
'gui_Singleton', gui_Singleton, ...
'gui_OpeningFcn', @GUIdemo_OpeningFcn, ...
'gui_OutputFcn', @GUIdemo_OutputFcn, ...
'gui_LayoutFcn', [] , ...
'gui_Callback', []);
if nargin & isstr(varargin{1})
gui_State.gui_Callback = str2func(varargin{1});
end

if nargout
[varargout{1:nargout}] = gui_mainfcn(gui_State, varargin{:});
else
gui_mainfcn(gui_State, varargin{:});
end
function GUIdemo_OpeningFcn(hObject, eventdata, handles, varargin)
handles.output = hObject;

guidata(hObject, handles);

image_file = get(handles.inEdit,'String');
if ~isempty(image_file)
im_original=imread(char(image_file));
set(handles.newIm,'HandleVisibility','OFF');
set(handles.orgIm,'HandleVisibility','ON');
axes(handles.orgIm);
image(im_original);
axis equal;
axis tight;
axis off;
set(handles.orgIm,'HandleVisibility','OFF');
end;

function varargout = GUIdemo_OutputFcn(hObject, eventdata, handles)
varargout{1} = handles.output;


function edit3_CreateFcn(hObject, eventdata, handles)
if ispc
set(hObject,'BackgroundColor','white');
else
set(hObject,'BackgroundColor',get(0,'defaultUicontrolBackgroundColor'));
end



function inEdit_CreateFcn(hObject, eventdata, handles)
if ispc
set(hObject,'BackgroundColor','white');
else
set(hObject,'BackgroundColor',get(0,'defaultUicontrolBackgroundColor'));
end



function inEdit_Callback(hObject, eventdata, handles)
function loadPush_Callback(hObject, eventdata, handles)

image_file = get(handles.inEdit,'String');
if ~isempty(image_file)
im_original=imread(char(image_file));
set(handles.newIm,'HandleVisibility','OFF');
set(handles.orgIm,'HandleVisibility','ON');
axes(handles.orgIm);
image(im_original);
axis equal;
axis tight;
axis off;
set(handles.orgIm,'HandleVisibility','OFF');
end;
function transfCheck_Callback(hObject, eventdata, handles)
function intSlider_CreateFcn(hObject, eventdata, handles)
usewhitebg = 1;
if usewhitebg
set(hObject,'BackgroundColor',[.9 .9 .9]);
else
set(hObject,'BackgroundColor',get(0,'defaultUicontrolBackgroundColor'));
end

function intSlider_Callback(hObject, eventdata, handles)
t = get(handles.intSlider,'value');
set(handles.valText,'String',num2str(t));
function appPush_Callback(hObject, eventdata, handles)
Flag = get(handles.transfCheck,'value');
scale = get(handles.intSlider,'value');
image_file = get(handles.inEdit,'String');
orim=imread(char(image_file));

orim = double(orim);

if Flag == 0

nim = orim*scale;
nim = (nim <=255 ).*nim + (nim>255)*255;
set(handles.newIm,'HandleVisibility','OFF');
set(handles.orgIm,'HandleVisibility','ON');
axes(handles.orgIm);
image(orim/255);
axis equal;
axis tight;
axis off;
set(handles.orgIm,'HandleVisibility','OFF');
set(handles.orgIm,'HandleVisibility','OFF');
set(handles.newIm,'HandleVisibility','ON');
axes(handles.newIm);
m = max(max(max(nim)));
if m>255
t = m;
else t = 255;
end;
image(nim/t);
axis equal;
axis tight;
axis off;
set(handles.newIm,'HandleVisibility','OFF');
else
im = floor((orim(:,:,1)+orim(:,:,2)+orim(:,:,3))/3);
set(handles.newIm,'HandleVisibility','OFF');
set(handles.orgIm,'HandleVisibility','ON');
axes(handles.orgIm);
image(im);
colormap(gray(256));
axis equal;
axis tight;
axis off;
set(handles.orgIm,'HandleVisibility','OFF');

nim = im*scale;
nim = (nim>255)*255+(nim<=255 & nim>0).*nim;
set(handles.newIm,'HandleVisibility','ON');
axes(handles.newIm);
image(nim);
colormap(gray(256));
axis equal;
axis tight;
axis off;
set(handles.newIm,'HandleVisibility','OFF');
end;


function closePush_Callback(hObject, eventdata, handles)
close all;

Implementasi Metode Edge Linking Untuk Mendeteksi Garis Tepi Pada Citra Digital

Segmentasi Citra

Segmentasi citra (image segmentation) merupakan langkah awal pada proses analisa citra yang bertujuan untuk mengambil informasi yang terdapat di dalam suatu citra. Segmentasi citra membagi suatu citra ke dalam bagian-bagian atau objek-objek. Sampai sejauh mana pembagian tersebut dilakukan tergantung pada masalah yang dihadapi. Idealnya, langkah segmentasi tersebut dihentikan pada saat objek yang diinginkan sudah berhasil dipisahkan.

Pada umumnya segmentasi secara otomatis adalah salah satu pekerjaan yang sulit dalam pengolahan citra. Langkah ini akan menentukan berhasil atau tidaknya proses analisa citra. Namun dengan segmentasi yang efektif, kemungkinan besar akan didapatkan hasil yang baik.

Algoritma segmentasi untuk citra monochrome biasanya berdasarkan pada satu dari dua sifat nilai gray-level: diskontinuitas dan similaritas. Pada diskontinuitas, pendekatan yang dilakukan adalah memisahkan citra berdasarkan terjadinya perubahan nilai graylevel yang drastis. Sedangkan pada similaritas, pendekatan dilakukan berdasarkan thresholding, region growing, region splitting, dan merging.


Deteksi Diskontinuitas


Ada tiga jenis diskontinuitas pada citra digital, yaitu: point (titik), line (garis), dan edge (batas). Dalam prakteknya, cara yang paling umum digunakan untuk menemukan diskontinuitas pada citra adalah dengan menggunakan mask yang dioperasikan ke seluruh pixel yang ada di dalam citra tersebut. Dengan menggunakan mask berukuran 3 x 3 seperti pada gambar berikut, akan didapatkan hasil:


R = w1z1 + w2z2 + … + w9z9


dimana zi adalah graylevel dari pixel yang bersesuaian dengan koefisien mask wi.





Point Detection





Suatu titik dikatakan terdeteksi di lokasi pusat dari mask jika


|R| > T


dimana T adalah threshold positif, dan R adalah hasil perhitungan dari :


R = w1z1 + w2z2 + … + w9z9


dengan menggunakan mask tersebut di atas.


Pada dasarnya apa yang dilakukan di sini adalah mengukur besarnya perbedaan graylevel antara titik tengah dengan titik-titik tetangganya (neighbor). Idenya adalah bahwa suatu titik yang terisolasi akan memiliki perbedaan graylevel yang cukup besar dengan titik-titik tetangganya.



Edge Detection


Edge detection adalah pendekatan yang paling umum digunakan untuk mendeteksi diskontinuitas graylevel. Hal ini disebabkan karena titik ataupun garis yang terisolasi tidak terlalu sering dijumpai dalam aplikasi praktis.

Suatu edge adalah batas antara dua region yang memiliki graylevel yang relatif berbeda. Pada dasarnya ide yang ada di balik sebagian besar teknik edge-detection adalah menggunakan perhitungan local derivative operator.

Gradien dari suatu citra f(x,y) pada lokasi (x,y) adalah vektor


Rumus tersebut lebih mudah diimplementasikan, khususnya jika menggunakan hardware untuk pemrosesan.


Edge Linking


Secara ideal, teknik yang digunakan untuk mendeteksi diskontinuitas seharusnya hanya menghasilkan pixel-pixel yang berada pada batas region. Namun dalam prakteknya hal ini jarang terjadi karena adanya noise, batas yang terpisah karena pencahayaan yang tidak merata, dan efek lain yang mengakibatkan variasi intensitas. Untuk itu algoritma edge-detection biasanya dilanjutkan dengan prosedur edge-linking untuk merangkai pixel-pixel tersebut menjadi satu kesatuan sehingga memberikan suatu informasi yang berarti.

Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk edge-linking adalah local processing, yaitu dengan menganalisa karakteristik pixel-pixel di dalam suatu neighborhood (3 x 3 atau 5 x 5) pada semua titik (x,y) di dalam citra yang telah mengalami edge-detection. Selanjutnya semua titik yang sejenis dihubungkan sehingga membentuk kumpulan pixel yang memiliki sifat-sifat yang sama.

Dua sifat utama yang digunakan untuk menentukan kesamaan edge pixel dalam analisa ini adalah:

1. Besarnya respon gradient operator yang digunakan

2. Arah gradient

Sifat yang pertama dinyatakan dengan nilai Ñf yang telah dibahas sebelumnya. Jadi suatu edge pixel dengan koordinat (x’,y’) dan bertetangga dengan (x,y), dikatakan memiliki magnitude sama dengan pixel di (x,y) jika:






dimana T adalah threshold positif.

Sedangkan arah vektor gradient dinyatakan dengan a(x,y) yang juga telah dibahas sebelumnya. Suatu edge pixel dengan koordinat (x’,y’) dan bertetangga dengan (x,y), dikatakan memiliki sudut yang sama dengan pixel di (x,y) jika:






dimana A adalah threshold sudut.

Suatu titik yang menjadi tetangga dari (x,y) dihubungkan dengan titik (x,y) jika memenuhi kedua kriteria di atas, baik magnitude maupun sudutnya. Proses linking ini diulang untuk seluruh lokasi titik yang ada di dalam citra.




CARA PENELITIAN


Untuk mengimplementasikan proses contrast stretching pada komputer, penulis membuat program yang memiliki kemampuan untuk:

· membuka file yang berisi citra digital

· menampilkan citra digital tersebut di layar

· melakukan pemrosesan edge linking

· menampilkan citra digital hasil proses

Adapun batasan dari program ini adalah:

· file citra yang digunakan harus berformat BMP, berukuran 256x256 pixel, dengan 256 gray-level


File citra digital dengan format BMP


File citra dengan format BMP adalah salah satu format standar yang digunakan dalam sistem operasi Windows. File ini biasanya disimpan dengan ekstensi .BMP. Struktur dari file BMP adalah sebagai berikut:


BITMAPFILEHEADER

BITMAPINFOHEADER

Array RGBQUAD

Array warna



Struktur BITMAPFILEHEADER menunjukkan jenis file dan ukuran file. Struktur BITMAPINFOHEADER menunjukkan ukuran (lebar dan tinggi) dari citra, format warna citra, dan banyaknya warna yang digunakan di dalam citra. Struktur RGBQUAD berisi nilai intensitas warna yang dibagi menjadi komponen R, G, dan B (red, green, dan blue). Sedangkan array warna berisi informasi mengenai isi citra itu sendiri, yaitu pixel-pixel yang membentuk citra tersebut.

Untuk mempercepat proses pengolahan citra digital, maka pixel-pixel yang ada di dalam file BMP dicopykan ke dalam variabel array. Dengan demikian pada proses selanjutnya tidak perlu dilakukan pembacaan file secara berulang-ulang. Deklarasi array untuk menyimpan citra tersebut adalah:


arCitra1 : array[1..256, 1..256] of byte;

arCitra2 : array[1..256, 1..256] of byte;


Secara lengkap, proses peng-copy-an pixel ini dapat dilihat pada procedure BukaFileCitra di listing program terlampir. Untuk menampilkan citra ke layar, digunakan component TImage dari Delphi.




Proses Edge Linking


Setelah semua pixel tersimpan di dalam variabel array, dilakukan perhitungan komponen Gx dan komponen Gy dari gradien. Proses ini terdapat di dalam procedure HitungKomponenGX dan HitungKomponenGY di dalam program. Data hasil perhitungan ini kemudian disimpan ke dalam array tersendiri dan dapat ditampilkan ke layar. Untuk menghasilkan komponen Gx dan Gy ini digunakan operator Sobel.

Berikut ini kutipan perintah di dalam program untuk menghitung komponen Gx dan Gy dengan menggunakan operator Sobel:


GX :=

(-1 * arCitra1[ix-1,iy-1]) +

(-2 * arCitra1[ix,iy-1]) +

(-1 * arCitra1[ix+1,iy-1]) +

(1 * arCitra1[ix-1,iy+1]) +

(2 * arCitra1[ix,iy+1]) +

(1 * arCitra1[ix+1,iy+1]);


GY :=

(-1 * arCitra1[ix-1,iy-1]) +

(1 * arCitra1[ix+1,iy-1]) +

(-2 * arCitra1[ix-1,iy]) +

(2 * arCitra1[ix+1,iy]) +

(-1 * arCitra1[ix-1,iy+1]) +

(1 * arCitra1[ix+1,iy+1]);


Implementasi selengkapnya dapat dilihat pada listing program terlampir.


Setelah perhitungan komponen gradien selesai, dilanjutkan dengan proses perhitungan magnitude dari gradien dan besar sudut gradien dari masing-masing pixel. Magnitude dari gradien dapat diperoleh dengan rumus pendekatan


Setelah diperoleh kedua informasi di atas, dilakukan proses edge linking dengan cara memandingkan setiap pixel dengan pixel tetangganya. Jika perbedaan dari magnitude maupun perbedaan dari sudut gradien antara suatu pixel dengan pixel tetangganya memenuhi kriteria yang ditentukan, maka kedua pixel tersebut dianggap terhubung.

Penentuan nilai untuk kedua kriteria ini dapat dilakukan dengan memasukkan nilai tersebut pada kotak dialog yang tersedia pada program.

Script_matlab_Laplacian

I=imread('saturn.tif');
hpf1=[ 1 -2 1;-2 5 -2; 1 -2 1];
hpf2=[ 0 1 0;1 -5 1; 0 1 0]; %letak matrik yang digunakan untuk proses "Simple Laplacian"
hpf3=[ 1 1 1;1 -9 1; 1 1 1]; %letak matrik yang digunakan untuk proses "Variant Laplacian"
hpf4=[-1 -1 -1;-1 9 -1;-1 -1 -1]; %Merupakan Hasil dari Proses Filtering
J1=uint8(conv2(double(I),hpf1,'same'));
J2=uint8(conv2(double(I),hpf2,'same'));
J3=uint8(conv2(double(I),hpf3,'same'));
J4=uint8(conv2(double(I),hpf4,'same'));
figure,imshow(I);
figure,imshow(J1);
figure,imshow(J2);
figure,imshow(J3);
figure,imshow(J4);

OUTPUT :





Script_perataan_image

I=imread('rice.tif');
J=imadjust(I,[0.15 0.9],[0 1]);
figure,imshow(I);
figure,imhist(I);
figure,imshow(J);
figure,imhist(J);

Tentang Pengolahan Citra

Pengolahan citra merupakan sebuah bentuk pemrosesan sebuah citra atau gambar dengan cara memproses numeric dari gambar tersebut, dalam hal ini yang diproses adalah masing-masing pixel atau titik dari gambar tersebut. Bentuk umum dari image filtering hampir serupa dengan image processing.

Salah satu teknik pemrosesan citra ini memanfaatkan komputer sebagai peranti untuk memproses masingmasing pixel dari sebuah gambar. Oleh karena itulah muncul istilah pemrosesan citra secara digital atau “Digital Image Processing”. Dalam artikel ini, akan dibahas lebih mendalam mengenai proses filtering yang merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam pemrosesan citra secara digital. Bahkan dalam beberapa kasus, pemrosesan citra sering diidentikkan dengan “Image Filtering”. Image processing sendiri dapat didefiniskan juga sebagai adalah proses filtering sebuah gambar, pixel demi pixel. Istilah manipulasi gambar atau “Image Manipulation” sering juga digunakan untuk menyebutkan istilah pemrosesan citra atau gambar tersebut.

“Digital image processing” diperkenalkan pertama kali di New York, USA pada awal tahun 1920-an. Pertama kalinya digunakan untuk meningkatkan kualitas gambar Koran yang dikirimkan oleh kabel bawah laut yang terbentang antara London dan New York. Sampai tahun 1960-an perkembangannya tidaklah terlalu menggembirakan. Namun pada akhir tahun 1960-an, dimana perkembangan komputer yang pesat dan mampu menawarkan kecepatan dan kapasitas yang lebih tinggi memacu perkembangan dari implementasi algoritma pemrosesan citra yang lebih pesat lagi. Untuk saat ini penggunaan dari pemrosesan citra telah melingkupi berbagai macam disiplin ilmu diantaranya bidang Arsitektur, Geografi, Ilmu
Komputer, Kedokteran, Fotografi, Arkeologi, dan lain sebagainya. Tujuan utama dari “Digital image processing” tersebut selain untuk meningkatkan kualitas gambar yang diperoleh, juga dimaksudkan untuk memproses data yang diperoleh untuk ditanggapi secara otomatis oleh sebuah mesin atau peralatan. Kelebihan dari penggunaan “Digital image processing” adalah dalam hal ketepatan dan flesibilitasnya. Sedangkan kerugiannya adalah dalam hal kecepatan dan biaya sebagai akibat dari pemanfaatan proses yang lebih kompleks.

SPL

Bagi nelayan negara maju, pemakaian satelit oseanografi yang
menampilkan citra Suhu Permukaan Laut (SPL) dan sebaran klorofil
merupakan hal rutin dan baku untuk memudahkan mereka mencari daerah
tangkapan ikan potensial.

Sementara untuk nelayan Indonesia masih mengandalkan naluri dan
pengalaman semata untuk menangkap ikan. Disamping itu pemakaian
teknologi maju, sekalipun sudah baku seperti GPS (Global Positioning
System) sebagai alat bantu navigasi yang dapat memandu mereka mencari
lokasi yang ditunjukkan citra satelit oseanografi, sampai saat ini
masih langka dimiliki nelayan tradisionil Indonesia. Tidak heran
apabila sering kita dengar nelayan hilang atau pulang membawa hasil
tangkapan sekadarnya, tanpa nilai tambah untuk perbaikan ekonomi
keluarga mereka.

Aplikasi citra satelit oseanografi yang sudah menjadi kebutuhan dasar
nelayan modern di negara maju, masih merupakan barang mahal bagi
sebagian besar nelayan kita. Walaupun sebenarnya data tersebut telah
tersedia dengan melimpah di media internet dewasa ini, dan hanya
diperlukan pengetahuan praktis sederhana membaca citra satelit untuk
melacak keberadaan ikan di laut. Sebuah ironi yang tidak semestinya
terjadi pada mereka.

Artikel ini memberikan petunjuk praktis pada nelayan agar mereka
mempunyai kemampuan membaca dan menganalisis citra satelit SPL untuk
mencari lokasi ikan.

2. Membaca Citra Satelit

Hal yang pertama kali diperhatikan ketika melihat citra satelit adalah
memeriksa ketepatan overlay antara peta dan nilai besaran parameter
yang ditampilkan. Apabila kita temukan koordinat pada peta tidak
sesuai dengan objek citra, maka proses rektifikasi diperlukan untuk
mengembalikannya pada posisi yang benar. Secara visual cukup membuat
sebangun antara peta bumi dan hasil citra.

Selanjutnya membedakan kontras warna pada citra. Citra daratan yang
direkam pada siang hari menunjukkan warna merah (lebih panas) apabila
dibandingkan dengan laut warna biru (lebih dingin). Hal sebaliknya
terjadi apabila rekaman satelit dilakukan pada malam hari. Pengetahuan
ini diperlukan agar tidak kehilangan orientasi dalam menganalisis
proses fisik yang terjadi di laut.

Kontras warna lainnya adalah hasil rekaman awan. Analisis citra
satelit biasanya ditampilkan sebagai warna putih. Untuk wilayah
Indonesia yang berada di lintang rendah, penampakan awan ini sangat
intensif sehingga bias warna pada pengolahan citra sangat mungkin
terjadi. Terutama untuk membedakannya dengan rekaman arus yang membawa
massa air dingin.

Cara termudah membedakannya dengan melihat rekaman 2 buah citra
satelit dalam kurun waktu pendek (dalam sehari). Perpindahan lokasi
massa air dingin oleh arus laut berlangsung lebih lambat (1-2 m/s)
dibandingkan pergerakan awan (5-20 m/s), sehingga perpindahan objek
citra massa air dingin relatif lebih stabil.

Kedua langkah di atas merupakan prosedur baku yang perlu dilakukan
sebelum menganalisis lokasi keberadaan ikan pada pertemuan dua buah
arus yang membawa massa air dengan perbedaan suhu kontras (convergence
zone atau front) dan upwelling.

3. Analisis Citra Satelit

Upwelling pada umumnya terjadi di pantai, karena angin mendorong massa
air hangat di permukaan ke arah laut lepas dan kekosongan yang terjadi
diisi massa air dingin di dasar/kedalaman yang juga membawa sedimen
dan zat hara sebagai sumber makanan fitoplankton.

Secara visual kelimpahan fitoplankton dapat dilihat dari perairan
sekitar pantai yang berwarna keruh kehijauan. Tanda ini dapat
dijadikan indikasi awal lokasi upwelling atau kesuburan perairan.

Gambar 1 adalah citra satelit SPL NOAA-12 tgl. 28 Juni 2001. Warna
putih yang terdapat di sekitar perairan Barat Sumatra adalah awan.

Gambar 1. Citra suhu permukaan laut satelit NOAA-12 tgl. 28 Juni 2001
di Selat Sunda dan sekitarnya. Skala warna dalam unit derajat Celcius
(Sumber: Laboratorium Remote Sensing dan GIS, P3-TISDA, BPPT

Lingngkaran ungu terjadi di perairan sekitar Teluk Pelabuhan Ratu dan
barat Sumatra. Kedua lokasi ini dapat dijadikan barometer tempat
penangkapan ikan (fishing ground).

Lokasi potensial lainnya adalah mencari daerah pertemuan arus
(convergence zone) ataupun massa air hangat dan dingin (front).
Analisis citra ditunjukkan dengan garis warna merah yang merupakan
pertemuan antara Arus Musim yang bergerak ke arah tenggara (southeast
ward) sejajar pesisir P. Sumatra dan Arus Pantai Selatan Jawa yang
pada Musim Timur bergerak ke arah baratlaut (Northwest ward).

Mengapa daerah tersebut menjadi indikator keberadaan ikan?. Pertemuan
arus membawa semua algae dan rumput laut yang terapung terkonsentrasi
di permukaan dan membentuk garis front sepanjang pertemuan kedua arus
tersebut. Algae dan rumput laut merupakan sumber makanan bagi ikan
kecil dan selanjutnya ikan sedang dan yang lebih besar lagi dalam
teori rantai makanan.

Dengan demikian secara sederhana nelayan dapat mencari ikan besar
dengan mencari lokasi dimana algae ataupun jenis rumput laut banyak
ditemukan dalam formasi garis front (garis merah pada peta sebagai
contoh).

4. Penutup

Mensejahterakan kehidupan nelayan Indonesia dapat dilakukan pemerintah
dengan memberikan informasi terbaru peta sirkulasi arus laut dan
kondisi oseanografi hasil analisis citra satelit di seluruh perairan
Indonesia setiap harinya melalui media yang dapat dengan mudah
dijangkau mereka, seperti radio dan televisi nasional.

Apabila hal tersebut dapat diwujudkan pemerintah, maka seorang nelayan
dengan kemampuan praktis di atas dapat membaca dan menganalisis citra
satelit oseanografi untuk menentukan wilayah tangkapan ikan di sekitar
tempat tinggalnya dengan mudah. Hal ini tentunya akan menghemat biaya
operasional dan meningkatkan hasil tangkapan mereka. Dengan demikian
kita harapkan ada peningkatan kualitas hidup nelayan di Indonesia.

Pengolahan Citra sesi (Optical Character Recogniton)

Pengolahan Citra sesi (Optical Character Recogniton)
Metodologi OCR (Optical Character Recogniton) Langkah awal dalam metodologi Optical Character Recogniton adalah

adanya input berupa documen document. Ini di jadikan sebagai masukan untuk proses selanjutnya. Kemudian proses

berlanjut untuk mengubah inputan tersebut menjadi data digital dengan bantuan optical scanner setelah digitalization

terselesaikan. Kemudian masukan berupa dokumen teks, perlu cropping lokasi-lokasi karakter yang akan dikenali untuk

locating character dengan simulasi character matrix. Image Preprocessing – proses yang dibutuhkan adalah

deteksi sisi dan thinning atau skeletonizing untuk mendapatkan obyek karakter dengan ketebalan 1 piksel, proses

sizesing berorientasi untuk mencapai noise cleaning yang diinginkan.feature extractor dilakukan untuk ekstraksi ciri

karakter, misal perhitungan ciri moment atau ciri lainnya, sehingga proses matching yang diinginkan sesuai.decision

maker atau pengambilan keputusan karakter apakah itu dengan membandingkan ciri karakter tersebut dengan

knowledge base yang menyimpan ciri-ciri setiap karakter yang dibangun dalam tahap pelatihan sehingga character

identification dapat terlaksana dengan baik untuk mencapai recognitized character atau merupakan hasil pengenalan

karakter dari input dokument.
Diposkan oleh sobat_ardhi di 01:23 0 komentar
SPL
Bagi nelayan negara maju, pemakaian satelit oseanografi yang
menampilkan citra Suhu Permukaan Laut (SPL) dan sebaran klorofil
merupakan hal rutin dan baku untuk memudahkan mereka mencari daerah
tangkapan ikan potensial.

Sementara untuk nelayan Indonesia masih mengandalkan naluri dan
pengalaman semata untuk menangkap ikan. Disamping itu pemakaian
teknologi maju, sekalipun sudah baku seperti GPS (Global Positioning
System) sebagai alat bantu navigasi yang dapat memandu mereka mencari
lokasi yang ditunjukkan citra satelit oseanografi, sampai saat ini
masih langka dimiliki nelayan tradisionil Indonesia. Tidak heran
apabila sering kita dengar nelayan hilang atau pulang membawa hasil
tangkapan sekadarnya, tanpa nilai tambah untuk perbaikan ekonomi
keluarga mereka.

Aplikasi citra satelit oseanografi yang sudah menjadi kebutuhan dasar
nelayan modern di negara maju, masih merupakan barang mahal bagi
sebagian besar nelayan kita. Walaupun sebenarnya data tersebut telah
tersedia dengan melimpah di media internet dewasa ini, dan hanya
diperlukan pengetahuan praktis sederhana membaca citra satelit untuk
melacak keberadaan ikan di laut. Sebuah ironi yang tidak semestinya
terjadi pada mereka.

Artikel ini memberikan petunjuk praktis pada nelayan agar mereka
mempunyai kemampuan membaca dan menganalisis citra satelit SPL untuk
mencari lokasi ikan.

2. Membaca Citra Satelit

Hal yang pertama kali diperhatikan ketika melihat citra satelit adalah
memeriksa ketepatan overlay antara peta dan nilai besaran parameter
yang ditampilkan. Apabila kita temukan koordinat pada peta tidak
sesuai dengan objek citra, maka proses rektifikasi diperlukan untuk
mengembalikannya pada posisi yang benar. Secara visual cukup membuat
sebangun antara peta bumi dan hasil citra.

Selanjutnya membedakan kontras warna pada citra. Citra daratan yang
direkam pada siang hari menunjukkan warna merah (lebih panas) apabila
dibandingkan dengan laut warna biru (lebih dingin). Hal sebaliknya
terjadi apabila rekaman satelit dilakukan pada malam hari. Pengetahuan
ini diperlukan agar tidak kehilangan orientasi dalam menganalisis
proses fisik yang terjadi di laut.

Kontras warna lainnya adalah hasil rekaman awan. Analisis citra
satelit biasanya ditampilkan sebagai warna putih. Untuk wilayah
Indonesia yang berada di lintang rendah, penampakan awan ini sangat
intensif sehingga bias warna pada pengolahan citra sangat mungkin
terjadi. Terutama untuk membedakannya dengan rekaman arus yang membawa
massa air dingin.

Cara termudah membedakannya dengan melihat rekaman 2 buah citra
satelit dalam kurun waktu pendek (dalam sehari). Perpindahan lokasi
massa air dingin oleh arus laut berlangsung lebih lambat (1-2 m/s)
dibandingkan pergerakan awan (5-20 m/s), sehingga perpindahan objek
citra massa air dingin relatif lebih stabil.

Kedua langkah di atas merupakan prosedur baku yang perlu dilakukan
sebelum menganalisis lokasi keberadaan ikan pada pertemuan dua buah
arus yang membawa massa air dengan perbedaan suhu kontras (convergence
zone atau front) dan upwelling.

3. Analisis Citra Satelit

Upwelling pada umumnya terjadi di pantai, karena angin mendorong massa
air hangat di permukaan ke arah laut lepas dan kekosongan yang terjadi
diisi massa air dingin di dasar/kedalaman yang juga membawa sedimen
dan zat hara sebagai sumber makanan fitoplankton.

Secara visual kelimpahan fitoplankton dapat dilihat dari perairan
sekitar pantai yang berwarna keruh kehijauan. Tanda ini dapat
dijadikan indikasi awal lokasi upwelling atau kesuburan perairan.

Gambar 1 adalah citra satelit SPL NOAA-12 tgl. 28 Juni 2001. Warna
putih yang terdapat di sekitar perairan Barat Sumatra adalah awan.

Gambar 1. Citra suhu permukaan laut satelit NOAA-12 tgl. 28 Juni 2001
di Selat Sunda dan sekitarnya. Skala warna dalam unit derajat Celcius
(Sumber: Laboratorium Remote Sensing dan GIS, P3-TISDA, BPPT

Lingngkaran ungu terjadi di perairan sekitar Teluk Pelabuhan Ratu dan
barat Sumatra. Kedua lokasi ini dapat dijadikan barometer tempat
penangkapan ikan (fishing ground).

Lokasi potensial lainnya adalah mencari daerah pertemuan arus
(convergence zone) ataupun massa air hangat dan dingin (front).
Analisis citra ditunjukkan dengan garis warna merah yang merupakan
pertemuan antara Arus Musim yang bergerak ke arah tenggara (southeast
ward) sejajar pesisir P. Sumatra dan Arus Pantai Selatan Jawa yang
pada Musim Timur bergerak ke arah baratlaut (Northwest ward).

Mengapa daerah tersebut menjadi indikator keberadaan ikan?. Pertemuan
arus membawa semua algae dan rumput laut yang terapung terkonsentrasi
di permukaan dan membentuk garis front sepanjang pertemuan kedua arus
tersebut. Algae dan rumput laut merupakan sumber makanan bagi ikan
kecil dan selanjutnya ikan sedang dan yang lebih besar lagi dalam
teori rantai makanan.

Dengan demikian secara sederhana nelayan dapat mencari ikan besar
dengan mencari lokasi dimana algae ataupun jenis rumput laut banyak
ditemukan dalam formasi garis front (garis merah pada peta sebagai
contoh).

4. Penutup

Mensejahterakan kehidupan nelayan Indonesia dapat dilakukan pemerintah
dengan memberikan informasi terbaru peta sirkulasi arus laut dan
kondisi oseanografi hasil analisis citra satelit di seluruh perairan
Indonesia setiap harinya melalui media yang dapat dengan mudah
dijangkau mereka, seperti radio dan televisi nasional.

Apabila hal tersebut dapat diwujudkan pemerintah, maka seorang nelayan
dengan kemampuan praktis di atas dapat membaca dan menganalisis citra
satelit oseanografi untuk menentukan wilayah tangkapan ikan di sekitar
tempat tinggalnya dengan mudah. Hal ini tentunya akan menghemat biaya
operasional dan meningkatkan hasil tangkapan mereka. Dengan demikian
kita harapkan ada peningkatan kualitas hidup nelayan di Indonesia.


Diposkan oleh sobat_ardhi di 01:02 0 komentar
SPL
Bagi nelayan negara maju, pemakaian satelit oseanografi yang
menampilkan citra Suhu Permukaan Laut (SPL) dan sebaran klorofil
merupakan hal rutin dan baku untuk memudahkan mereka mencari daerah
tangkapan ikan potensial.

Sementara untuk nelayan Indonesia masih mengandalkan naluri dan
pengalaman semata untuk menangkap ikan. Disamping itu pemakaian
teknologi maju, sekalipun sudah baku seperti GPS (Global Positioning
System) sebagai alat bantu navigasi yang dapat memandu mereka mencari
lokasi yang ditunjukkan citra satelit oseanografi, sampai saat ini
masih langka dimiliki nelayan tradisionil Indonesia. Tidak heran
apabila sering kita dengar nelayan hilang atau pulang membawa hasil
tangkapan sekadarnya, tanpa nilai tambah untuk perbaikan ekonomi
keluarga mereka.

Aplikasi citra satelit oseanografi yang sudah menjadi kebutuhan dasar
nelayan modern di negara maju, masih merupakan barang mahal bagi
sebagian besar nelayan kita. Walaupun sebenarnya data tersebut telah
tersedia dengan melimpah di media internet dewasa ini, dan hanya
diperlukan pengetahuan praktis sederhana membaca citra satelit untuk
melacak keberadaan ikan di laut. Sebuah ironi yang tidak semestinya
terjadi pada mereka.

Artikel ini memberikan petunjuk praktis pada nelayan agar mereka
mempunyai kemampuan membaca dan menganalisis citra satelit SPL untuk
mencari lokasi ikan.

2. Membaca Citra Satelit

Hal yang pertama kali diperhatikan ketika melihat citra satelit adalah
memeriksa ketepatan overlay antara peta dan nilai besaran parameter
yang ditampilkan. Apabila kita temukan koordinat pada peta tidak
sesuai dengan objek citra, maka proses rektifikasi diperlukan untuk
mengembalikannya pada posisi yang benar. Secara visual cukup membuat
sebangun antara peta bumi dan hasil citra.

Selanjutnya membedakan kontras warna pada citra. Citra daratan yang
direkam pada siang hari menunjukkan warna merah (lebih panas) apabila
dibandingkan dengan laut warna biru (lebih dingin). Hal sebaliknya
terjadi apabila rekaman satelit dilakukan pada malam hari. Pengetahuan
ini diperlukan agar tidak kehilangan orientasi dalam menganalisis
proses fisik yang terjadi di laut.

Kontras warna lainnya adalah hasil rekaman awan. Analisis citra
satelit biasanya ditampilkan sebagai warna putih. Untuk wilayah
Indonesia yang berada di lintang rendah, penampakan awan ini sangat
intensif sehingga bias warna pada pengolahan citra sangat mungkin
terjadi. Terutama untuk membedakannya dengan rekaman arus yang membawa
massa air dingin.

Cara termudah membedakannya dengan melihat rekaman 2 buah citra
satelit dalam kurun waktu pendek (dalam sehari). Perpindahan lokasi
massa air dingin oleh arus laut berlangsung lebih lambat (1-2 m/s)
dibandingkan pergerakan awan (5-20 m/s), sehingga perpindahan objek
citra massa air dingin relatif lebih stabil.

Kedua langkah di atas merupakan prosedur baku yang perlu dilakukan
sebelum menganalisis lokasi keberadaan ikan pada pertemuan dua buah
arus yang membawa massa air dengan perbedaan suhu kontras (convergence
zone atau front) dan upwelling.

3. Analisis Citra Satelit

Upwelling pada umumnya terjadi di pantai, karena angin mendorong massa
air hangat di permukaan ke arah laut lepas dan kekosongan yang terjadi
diisi massa air dingin di dasar/kedalaman yang juga membawa sedimen
dan zat hara sebagai sumber makanan fitoplankton.

Secara visual kelimpahan fitoplankton dapat dilihat dari perairan
sekitar pantai yang berwarna keruh kehijauan. Tanda ini dapat
dijadikan indikasi awal lokasi upwelling atau kesuburan perairan.

Gambar 1 adalah citra satelit SPL NOAA-12 tgl. 28 Juni 2001. Warna
putih yang terdapat di sekitar perairan Barat Sumatra adalah awan.

Gambar 1. Citra suhu permukaan laut satelit NOAA-12 tgl. 28 Juni 2001
di Selat Sunda dan sekitarnya. Skala warna dalam unit derajat Celcius
(Sumber: Laboratorium Remote Sensing dan GIS, P3-TISDA, BPPT

Lingngkaran ungu terjadi di perairan sekitar Teluk Pelabuhan Ratu dan
barat Sumatra. Kedua lokasi ini dapat dijadikan barometer tempat
penangkapan ikan (fishing ground).

Lokasi potensial lainnya adalah mencari daerah pertemuan arus
(convergence zone) ataupun massa air hangat dan dingin (front).
Analisis citra ditunjukkan dengan garis warna merah yang merupakan
pertemuan antara Arus Musim yang bergerak ke arah tenggara (southeast
ward) sejajar pesisir P. Sumatra dan Arus Pantai Selatan Jawa yang
pada Musim Timur bergerak ke arah baratlaut (Northwest ward).

Mengapa daerah tersebut menjadi indikator keberadaan ikan?. Pertemuan
arus membawa semua algae dan rumput laut yang terapung terkonsentrasi
di permukaan dan membentuk garis front sepanjang pertemuan kedua arus
tersebut. Algae dan rumput laut merupakan sumber makanan bagi ikan
kecil dan selanjutnya ikan sedang dan yang lebih besar lagi dalam
teori rantai makanan.

Dengan demikian secara sederhana nelayan dapat mencari ikan besar
dengan mencari lokasi dimana algae ataupun jenis rumput laut banyak
ditemukan dalam formasi garis front (garis merah pada peta sebagai
contoh).

4. Penutup

Mensejahterakan kehidupan nelayan Indonesia dapat dilakukan pemerintah
dengan memberikan informasi terbaru peta sirkulasi arus laut dan
kondisi oseanografi hasil analisis citra satelit di seluruh perairan
Indonesia setiap harinya melalui media yang dapat dengan mudah
dijangkau mereka, seperti radio dan televisi nasional.

Apabila hal tersebut dapat diwujudkan pemerintah, maka seorang nelayan
dengan kemampuan praktis di atas dapat membaca dan menganalisis citra
satelit oseanografi untuk menentukan wilayah tangkapan ikan di sekitar
tempat tinggalnya dengan mudah. Hal ini tentunya akan menghemat biaya
operasional dan meningkatkan hasil tangkapan mereka. Dengan demikian
kita harapkan ada peningkatan kualitas hidup nelayan di Indonesia.


Diposkan oleh sobat_ardhi di 01:02 0 komentar
Senin, 2008 September 08
Tentang Pengolahan Citra
Pengolahan citra merupakan sebuah bentuk pemrosesan sebuah citra atau gambar dengan cara memproses numeric dari gambar tersebut, dalam hal ini yang diproses adalah masing-masing pixel atau titik dari gambar tersebut. Bentuk umum dari image filtering hampir serupa dengan image processing.

Salah satu teknik pemrosesan citra ini memanfaatkan komputer sebagai peranti untuk memproses masingmasing pixel dari sebuah gambar. Oleh karena itulah muncul istilah pemrosesan citra secara digital atau “Digital Image Processing”. Dalam artikel ini, akan dibahas lebih mendalam mengenai proses filtering yang merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam pemrosesan citra secara digital. Bahkan dalam beberapa kasus, pemrosesan citra sering diidentikkan dengan “Image Filtering”. Image processing sendiri dapat didefiniskan juga sebagai adalah proses filtering sebuah gambar, pixel demi pixel. Istilah manipulasi gambar atau “Image Manipulation” sering juga digunakan untuk menyebutkan istilah pemrosesan citra atau gambar tersebut.

“Digital image processing” diperkenalkan pertama kali di New York, USA pada awal tahun 1920-an. Pertama kalinya digunakan untuk meningkatkan kualitas gambar Koran yang dikirimkan oleh kabel bawah laut yang terbentang antara London dan New York. Sampai tahun 1960-an perkembangannya tidaklah terlalu menggembirakan. Namun pada akhir tahun 1960-an, dimana perkembangan komputer yang pesat dan mampu menawarkan kecepatan dan kapasitas yang lebih tinggi memacu perkembangan dari implementasi algoritma pemrosesan citra yang lebih pesat lagi. Untuk saat ini penggunaan dari pemrosesan citra telah melingkupi berbagai macam disiplin ilmu diantaranya bidang Arsitektur, Geografi, Ilmu
Komputer, Kedokteran, Fotografi, Arkeologi, dan lain sebagainya. Tujuan utama dari “Digital image processing” tersebut selain untuk meningkatkan kualitas gambar yang diperoleh, juga dimaksudkan untuk memproses data yang diperoleh untuk ditanggapi secara otomatis oleh sebuah mesin atau peralatan. Kelebihan dari penggunaan “Digital image processing” adalah dalam hal ketepatan dan flesibilitasnya. Sedangkan kerugiannya adalah dalam hal kecepatan dan biaya sebagai akibat dari pemanfaatan proses yang lebih kompleks.

Bagaimana Menurut Anda Blog Saya