Selamat Datang Di Blog Decka
Selasa, 18 November 2008
Sript_matlab_Grayscale
function varargout = GUIdemo(varargin)
gui_Singleton = 1;
gui_State = struct('gui_Name', mfilename, ...
'gui_Singleton', gui_Singleton, ...
'gui_OpeningFcn', @GUIdemo_OpeningFcn, ...
'gui_OutputFcn', @GUIdemo_OutputFcn, ...
'gui_LayoutFcn', [] , ...
'gui_Callback', []);
if nargin & isstr(varargin{1})
gui_State.gui_Callback = str2func(varargin{1});
end
if nargout
[varargout{1:nargout}] = gui_mainfcn(gui_State, varargin{:});
else
gui_mainfcn(gui_State, varargin{:});
end
function GUIdemo_OpeningFcn(hObject, eventdata, handles, varargin)
handles.output = hObject;
guidata(hObject, handles);
image_file = get(handles.inEdit,'String');
if ~isempty(image_file)
im_original=imread(char(image_file));
set(handles.newIm,'HandleVisibility','OFF');
set(handles.orgIm,'HandleVisibility','ON');
axes(handles.orgIm);
image(im_original);
axis equal;
axis tight;
axis off;
set(handles.orgIm,'HandleVisibility','OFF');
end;
function varargout = GUIdemo_OutputFcn(hObject, eventdata, handles)
varargout{1} = handles.output;
function edit3_CreateFcn(hObject, eventdata, handles)
if ispc
set(hObject,'BackgroundColor','white');
else
set(hObject,'BackgroundColor',get(0,'defaultUicontrolBackgroundColor'));
end
function inEdit_CreateFcn(hObject, eventdata, handles)
if ispc
set(hObject,'BackgroundColor','white');
else
set(hObject,'BackgroundColor',get(0,'defaultUicontrolBackgroundColor'));
end
function inEdit_Callback(hObject, eventdata, handles)
function loadPush_Callback(hObject, eventdata, handles)
image_file = get(handles.inEdit,'String');
if ~isempty(image_file)
im_original=imread(char(image_file));
set(handles.newIm,'HandleVisibility','OFF');
set(handles.orgIm,'HandleVisibility','ON');
axes(handles.orgIm);
image(im_original);
axis equal;
axis tight;
axis off;
set(handles.orgIm,'HandleVisibility','OFF');
end;
function transfCheck_Callback(hObject, eventdata, handles)
function intSlider_CreateFcn(hObject, eventdata, handles)
usewhitebg = 1;
if usewhitebg
set(hObject,'BackgroundColor',[.9 .9 .9]);
else
set(hObject,'BackgroundColor',get(0,'defaultUicontrolBackgroundColor'));
end
function intSlider_Callback(hObject, eventdata, handles)
t = get(handles.intSlider,'value');
set(handles.valText,'String',num2str(t));
function appPush_Callback(hObject, eventdata, handles)
Flag = get(handles.transfCheck,'value');
scale = get(handles.intSlider,'value');
image_file = get(handles.inEdit,'String');
orim=imread(char(image_file));
orim = double(orim);
if Flag == 0
nim = orim*scale;
nim = (nim <=255 ).*nim + (nim>255)*255;
set(handles.newIm,'HandleVisibility','OFF');
set(handles.orgIm,'HandleVisibility','ON');
axes(handles.orgIm);
image(orim/255);
axis equal;
axis tight;
axis off;
set(handles.orgIm,'HandleVisibility','OFF');
set(handles.orgIm,'HandleVisibility','OFF');
set(handles.newIm,'HandleVisibility','ON');
axes(handles.newIm);
m = max(max(max(nim)));
if m>255
t = m;
else t = 255;
end;
image(nim/t);
axis equal;
axis tight;
axis off;
set(handles.newIm,'HandleVisibility','OFF');
else
im = floor((orim(:,:,1)+orim(:,:,2)+orim(:,:,3))/3);
set(handles.newIm,'HandleVisibility','OFF');
set(handles.orgIm,'HandleVisibility','ON');
axes(handles.orgIm);
image(im);
colormap(gray(256));
axis equal;
axis tight;
axis off;
set(handles.orgIm,'HandleVisibility','OFF');
nim = im*scale;
nim = (nim>255)*255+(nim<=255 & nim>0).*nim;
set(handles.newIm,'HandleVisibility','ON');
axes(handles.newIm);
image(nim);
colormap(gray(256));
axis equal;
axis tight;
axis off;
set(handles.newIm,'HandleVisibility','OFF');
end;
function closePush_Callback(hObject, eventdata, handles)
close all;
Implementasi Metode Edge Linking Untuk Mendeteksi Garis Tepi Pada Citra Digital
Segmentasi citra (image segmentation) merupakan langkah awal pada proses analisa citra yang bertujuan untuk mengambil informasi yang terdapat di dalam suatu citra. Segmentasi citra membagi suatu citra ke dalam bagian-bagian atau objek-objek. Sampai sejauh mana pembagian tersebut dilakukan tergantung pada masalah yang dihadapi. Idealnya, langkah segmentasi tersebut dihentikan pada saat objek yang diinginkan sudah berhasil dipisahkan.
Pada umumnya segmentasi secara otomatis adalah salah satu pekerjaan yang sulit dalam pengolahan citra. Langkah ini akan menentukan berhasil atau tidaknya proses analisa citra. Namun dengan segmentasi yang efektif, kemungkinan besar akan didapatkan hasil yang baik.
Algoritma segmentasi untuk citra monochrome biasanya berdasarkan pada satu dari dua sifat nilai gray-level: diskontinuitas dan similaritas. Pada diskontinuitas, pendekatan yang dilakukan adalah memisahkan citra berdasarkan terjadinya perubahan nilai graylevel yang drastis. Sedangkan pada similaritas, pendekatan dilakukan berdasarkan thresholding, region growing, region splitting, dan merging.
Deteksi Diskontinuitas
Ada tiga jenis diskontinuitas pada citra digital, yaitu: point (titik), line (garis), dan edge (batas). Dalam prakteknya, cara yang paling umum digunakan untuk menemukan diskontinuitas pada citra adalah dengan menggunakan mask yang dioperasikan ke seluruh pixel yang ada di dalam citra tersebut. Dengan menggunakan mask berukuran 3 x 3 seperti pada gambar berikut, akan didapatkan hasil:
R = w1z1 + w2z2 + … + w9z9
dimana zi adalah graylevel dari pixel yang bersesuaian dengan koefisien mask wi.
Point Detection
Suatu titik dikatakan terdeteksi di lokasi pusat dari mask jika
|R| > T
dimana T adalah threshold positif, dan R adalah hasil perhitungan dari :
R = w1z1 + w2z2 + … + w9z9
dengan menggunakan mask tersebut di atas.
Pada dasarnya apa yang dilakukan di sini adalah mengukur besarnya perbedaan graylevel antara titik tengah dengan titik-titik tetangganya (neighbor). Idenya adalah bahwa suatu titik yang terisolasi akan memiliki perbedaan graylevel yang cukup besar dengan titik-titik tetangganya.
Edge Detection
Edge detection adalah pendekatan yang paling umum digunakan untuk mendeteksi diskontinuitas graylevel. Hal ini disebabkan karena titik ataupun garis yang terisolasi tidak terlalu sering dijumpai dalam aplikasi praktis.
Suatu edge adalah batas antara dua region yang memiliki graylevel yang relatif berbeda. Pada dasarnya ide yang ada di balik sebagian besar teknik edge-detection adalah menggunakan perhitungan local derivative operator.
Gradien dari suatu citra f(x,y) pada lokasi (x,y) adalah vektor
Rumus tersebut lebih mudah diimplementasikan, khususnya jika menggunakan hardware untuk pemrosesan.
Edge Linking
Secara ideal, teknik yang digunakan untuk mendeteksi diskontinuitas seharusnya hanya menghasilkan pixel-pixel yang berada pada batas region. Namun dalam prakteknya hal ini jarang terjadi karena adanya noise, batas yang terpisah karena pencahayaan yang tidak merata, dan efek lain yang mengakibatkan variasi intensitas. Untuk itu algoritma edge-detection biasanya dilanjutkan dengan prosedur edge-linking untuk merangkai pixel-pixel tersebut menjadi satu kesatuan sehingga memberikan suatu informasi yang berarti.
Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk edge-linking adalah local processing, yaitu dengan menganalisa karakteristik pixel-pixel di dalam suatu neighborhood (3 x 3 atau 5 x 5) pada semua titik (x,y) di dalam citra yang telah mengalami edge-detection. Selanjutnya semua titik yang sejenis dihubungkan sehingga membentuk kumpulan pixel yang memiliki sifat-sifat yang sama.
Dua sifat utama yang digunakan untuk menentukan kesamaan edge pixel dalam analisa ini adalah:
1. Besarnya respon gradient operator yang digunakan
2. Arah gradient
Sifat yang pertama dinyatakan dengan nilai Ñf yang telah dibahas sebelumnya. Jadi suatu edge pixel dengan koordinat (x’,y’) dan bertetangga dengan (x,y), dikatakan memiliki magnitude sama dengan pixel di (x,y) jika:
dimana T adalah threshold positif.
Sedangkan arah vektor gradient dinyatakan dengan a(x,y) yang juga telah dibahas sebelumnya. Suatu edge pixel dengan koordinat (x’,y’) dan bertetangga dengan (x,y), dikatakan memiliki sudut yang sama dengan pixel di (x,y) jika:
dimana A adalah threshold sudut.
Suatu titik yang menjadi tetangga dari (x,y) dihubungkan dengan titik (x,y) jika memenuhi kedua kriteria di atas, baik magnitude maupun sudutnya. Proses linking ini diulang untuk seluruh lokasi titik yang ada di dalam citra.
CARA PENELITIAN
Untuk mengimplementasikan proses contrast stretching pada komputer, penulis membuat program yang memiliki kemampuan untuk:
· membuka file yang berisi citra digital
· menampilkan citra digital tersebut di layar
· melakukan pemrosesan edge linking
· menampilkan citra digital hasil proses
Adapun batasan dari program ini adalah:
· file citra yang digunakan harus berformat BMP, berukuran 256x256 pixel, dengan 256 gray-level
File citra digital dengan format BMP
File citra dengan format BMP adalah salah satu format standar yang digunakan dalam sistem operasi Windows. File ini biasanya disimpan dengan ekstensi .BMP. Struktur dari file BMP adalah sebagai berikut:
BITMAPFILEHEADER
BITMAPINFOHEADER
Array RGBQUAD
Array warna
Struktur BITMAPFILEHEADER menunjukkan jenis file dan ukuran file. Struktur BITMAPINFOHEADER menunjukkan ukuran (lebar dan tinggi) dari citra, format warna citra, dan banyaknya warna yang digunakan di dalam citra. Struktur RGBQUAD berisi nilai intensitas warna yang dibagi menjadi komponen R, G, dan B (red, green, dan blue). Sedangkan array warna berisi informasi mengenai isi citra itu sendiri, yaitu pixel-pixel yang membentuk citra tersebut.
Untuk mempercepat proses pengolahan citra digital, maka pixel-pixel yang ada di dalam file BMP dicopykan ke dalam variabel array. Dengan demikian pada proses selanjutnya tidak perlu dilakukan pembacaan file secara berulang-ulang. Deklarasi array untuk menyimpan citra tersebut adalah:
arCitra1 : array[1..256, 1..256] of byte;
arCitra2 : array[1..256, 1..256] of byte;
Secara lengkap, proses peng-copy-an pixel ini dapat dilihat pada procedure BukaFileCitra di listing program terlampir. Untuk menampilkan citra ke layar, digunakan component TImage dari Delphi.
Proses Edge Linking
Setelah semua pixel tersimpan di dalam variabel array, dilakukan perhitungan komponen Gx dan komponen Gy dari gradien. Proses ini terdapat di dalam procedure HitungKomponenGX dan HitungKomponenGY di dalam program. Data hasil perhitungan ini kemudian disimpan ke dalam array tersendiri dan dapat ditampilkan ke layar. Untuk menghasilkan komponen Gx dan Gy ini digunakan operator Sobel.
Berikut ini kutipan perintah di dalam program untuk menghitung komponen Gx dan Gy dengan menggunakan operator Sobel:
GX :=
(-1 * arCitra1[ix-1,iy-1]) +
(-2 * arCitra1[ix,iy-1]) +
(-1 * arCitra1[ix+1,iy-1]) +
(1 * arCitra1[ix-1,iy+1]) +
(2 * arCitra1[ix,iy+1]) +
(1 * arCitra1[ix+1,iy+1]);
GY :=
(-1 * arCitra1[ix-1,iy-1]) +
(1 * arCitra1[ix+1,iy-1]) +
(-2 * arCitra1[ix-1,iy]) +
(2 * arCitra1[ix+1,iy]) +
(-1 * arCitra1[ix-1,iy+1]) +
(1 * arCitra1[ix+1,iy+1]);
Implementasi selengkapnya dapat dilihat pada listing program terlampir.
Setelah perhitungan komponen gradien selesai, dilanjutkan dengan proses perhitungan magnitude dari gradien dan besar sudut gradien dari masing-masing pixel. Magnitude dari gradien dapat diperoleh dengan rumus pendekatan
Setelah diperoleh kedua informasi di atas, dilakukan proses edge linking dengan cara memandingkan setiap pixel dengan pixel tetangganya. Jika perbedaan dari magnitude maupun perbedaan dari sudut gradien antara suatu pixel dengan pixel tetangganya memenuhi kriteria yang ditentukan, maka kedua pixel tersebut dianggap terhubung.
Penentuan nilai untuk kedua kriteria ini dapat dilakukan dengan memasukkan nilai tersebut pada kotak dialog yang tersedia pada program.
Script_matlab_Laplacian
hpf1=[ 1 -2 1;-2 5 -2; 1 -2 1];
hpf2=[ 0 1 0;1 -5 1; 0 1 0]; %letak matrik yang digunakan untuk proses "Simple Laplacian"
hpf3=[ 1 1 1;1 -9 1; 1 1 1]; %letak matrik yang digunakan untuk proses "Variant Laplacian"
hpf4=[-1 -1 -1;-1 9 -1;-1 -1 -1]; %Merupakan Hasil dari Proses Filtering
J1=uint8(conv2(double(I),hpf1,'same'));
J2=uint8(conv2(double(I),hpf2,'same'));
J3=uint8(conv2(double(I),hpf3,'same'));
J4=uint8(conv2(double(I),hpf4,'same'));
figure,imshow(I);
figure,imshow(J1);
figure,imshow(J2);
figure,imshow(J3);
figure,imshow(J4);
OUTPUT :
Script_perataan_image
J=imadjust(I,[0.15 0.9],[0 1]);
figure,imshow(I);
figure,imhist(I);
figure,imshow(J);
figure,imhist(J);
Tentang Pengolahan Citra
Salah satu teknik pemrosesan citra ini memanfaatkan komputer sebagai peranti untuk memproses masingmasing pixel dari sebuah gambar. Oleh karena itulah muncul istilah pemrosesan citra secara digital atau “Digital Image Processing”. Dalam artikel ini, akan dibahas lebih mendalam mengenai proses filtering yang merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam pemrosesan citra secara digital. Bahkan dalam beberapa kasus, pemrosesan citra sering diidentikkan dengan “Image Filtering”. Image processing sendiri dapat didefiniskan juga sebagai adalah proses filtering sebuah gambar, pixel demi pixel. Istilah manipulasi gambar atau “Image Manipulation” sering juga digunakan untuk menyebutkan istilah pemrosesan citra atau gambar tersebut.
“Digital image processing” diperkenalkan pertama kali di New York, USA pada awal tahun 1920-an. Pertama kalinya digunakan untuk meningkatkan kualitas gambar Koran yang dikirimkan oleh kabel bawah laut yang terbentang antara London dan New York. Sampai tahun 1960-an perkembangannya tidaklah terlalu menggembirakan. Namun pada akhir tahun 1960-an, dimana perkembangan komputer yang pesat dan mampu menawarkan kecepatan dan kapasitas yang lebih tinggi memacu perkembangan dari implementasi algoritma pemrosesan citra yang lebih pesat lagi. Untuk saat ini penggunaan dari pemrosesan citra telah melingkupi berbagai macam disiplin ilmu diantaranya bidang Arsitektur, Geografi, Ilmu
Komputer, Kedokteran, Fotografi, Arkeologi, dan lain sebagainya. Tujuan utama dari “Digital image processing” tersebut selain untuk meningkatkan kualitas gambar yang diperoleh, juga dimaksudkan untuk memproses data yang diperoleh untuk ditanggapi secara otomatis oleh sebuah mesin atau peralatan. Kelebihan dari penggunaan “Digital image processing” adalah dalam hal ketepatan dan flesibilitasnya. Sedangkan kerugiannya adalah dalam hal kecepatan dan biaya sebagai akibat dari pemanfaatan proses yang lebih kompleks.
SPL
menampilkan citra Suhu Permukaan Laut (SPL) dan sebaran klorofil
merupakan hal rutin dan baku untuk memudahkan mereka mencari daerah
tangkapan ikan potensial.
Sementara untuk nelayan Indonesia masih mengandalkan naluri dan
pengalaman semata untuk menangkap ikan. Disamping itu pemakaian
teknologi maju, sekalipun sudah baku seperti GPS (Global Positioning
System) sebagai alat bantu navigasi yang dapat memandu mereka mencari
lokasi yang ditunjukkan citra satelit oseanografi, sampai saat ini
masih langka dimiliki nelayan tradisionil Indonesia. Tidak heran
apabila sering kita dengar nelayan hilang atau pulang membawa hasil
tangkapan sekadarnya, tanpa nilai tambah untuk perbaikan ekonomi
keluarga mereka.
Aplikasi citra satelit oseanografi yang sudah menjadi kebutuhan dasar
nelayan modern di negara maju, masih merupakan barang mahal bagi
sebagian besar nelayan kita. Walaupun sebenarnya data tersebut telah
tersedia dengan melimpah di media internet dewasa ini, dan hanya
diperlukan pengetahuan praktis sederhana membaca citra satelit untuk
melacak keberadaan ikan di laut. Sebuah ironi yang tidak semestinya
terjadi pada mereka.
Artikel ini memberikan petunjuk praktis pada nelayan agar mereka
mempunyai kemampuan membaca dan menganalisis citra satelit SPL untuk
mencari lokasi ikan.
2. Membaca Citra Satelit
Hal yang pertama kali diperhatikan ketika melihat citra satelit adalah
memeriksa ketepatan overlay antara peta dan nilai besaran parameter
yang ditampilkan. Apabila kita temukan koordinat pada peta tidak
sesuai dengan objek citra, maka proses rektifikasi diperlukan untuk
mengembalikannya pada posisi yang benar. Secara visual cukup membuat
sebangun antara peta bumi dan hasil citra.
Selanjutnya membedakan kontras warna pada citra. Citra daratan yang
direkam pada siang hari menunjukkan warna merah (lebih panas) apabila
dibandingkan dengan laut warna biru (lebih dingin). Hal sebaliknya
terjadi apabila rekaman satelit dilakukan pada malam hari. Pengetahuan
ini diperlukan agar tidak kehilangan orientasi dalam menganalisis
proses fisik yang terjadi di laut.
Kontras warna lainnya adalah hasil rekaman awan. Analisis citra
satelit biasanya ditampilkan sebagai warna putih. Untuk wilayah
Indonesia yang berada di lintang rendah, penampakan awan ini sangat
intensif sehingga bias warna pada pengolahan citra sangat mungkin
terjadi. Terutama untuk membedakannya dengan rekaman arus yang membawa
massa air dingin.
Cara termudah membedakannya dengan melihat rekaman 2 buah citra
satelit dalam kurun waktu pendek (dalam sehari). Perpindahan lokasi
massa air dingin oleh arus laut berlangsung lebih lambat (1-2 m/s)
dibandingkan pergerakan awan (5-20 m/s), sehingga perpindahan objek
citra massa air dingin relatif lebih stabil.
Kedua langkah di atas merupakan prosedur baku yang perlu dilakukan
sebelum menganalisis lokasi keberadaan ikan pada pertemuan dua buah
arus yang membawa massa air dengan perbedaan suhu kontras (convergence
zone atau front) dan upwelling.
3. Analisis Citra Satelit
Upwelling pada umumnya terjadi di pantai, karena angin mendorong massa
air hangat di permukaan ke arah laut lepas dan kekosongan yang terjadi
diisi massa air dingin di dasar/kedalaman yang juga membawa sedimen
dan zat hara sebagai sumber makanan fitoplankton.
Secara visual kelimpahan fitoplankton dapat dilihat dari perairan
sekitar pantai yang berwarna keruh kehijauan. Tanda ini dapat
dijadikan indikasi awal lokasi upwelling atau kesuburan perairan.
Gambar 1 adalah citra satelit SPL NOAA-12 tgl. 28 Juni 2001. Warna
putih yang terdapat di sekitar perairan Barat Sumatra adalah awan.
Gambar 1. Citra suhu permukaan laut satelit NOAA-12 tgl. 28 Juni 2001
di Selat Sunda dan sekitarnya. Skala warna dalam unit derajat Celcius
(Sumber: Laboratorium Remote Sensing dan GIS, P3-TISDA, BPPT
Lingngkaran ungu terjadi di perairan sekitar Teluk Pelabuhan Ratu dan
barat Sumatra. Kedua lokasi ini dapat dijadikan barometer tempat
penangkapan ikan (fishing ground).
Lokasi potensial lainnya adalah mencari daerah pertemuan arus
(convergence zone) ataupun massa air hangat dan dingin (front).
Analisis citra ditunjukkan dengan garis warna merah yang merupakan
pertemuan antara Arus Musim yang bergerak ke arah tenggara (southeast
ward) sejajar pesisir P. Sumatra dan Arus Pantai Selatan Jawa yang
pada Musim Timur bergerak ke arah baratlaut (Northwest ward).
Mengapa daerah tersebut menjadi indikator keberadaan ikan?. Pertemuan
arus membawa semua algae dan rumput laut yang terapung terkonsentrasi
di permukaan dan membentuk garis front sepanjang pertemuan kedua arus
tersebut. Algae dan rumput laut merupakan sumber makanan bagi ikan
kecil dan selanjutnya ikan sedang dan yang lebih besar lagi dalam
teori rantai makanan.
Dengan demikian secara sederhana nelayan dapat mencari ikan besar
dengan mencari lokasi dimana algae ataupun jenis rumput laut banyak
ditemukan dalam formasi garis front (garis merah pada peta sebagai
contoh).
4. Penutup
Mensejahterakan kehidupan nelayan Indonesia dapat dilakukan pemerintah
dengan memberikan informasi terbaru peta sirkulasi arus laut dan
kondisi oseanografi hasil analisis citra satelit di seluruh perairan
Indonesia setiap harinya melalui media yang dapat dengan mudah
dijangkau mereka, seperti radio dan televisi nasional.
Apabila hal tersebut dapat diwujudkan pemerintah, maka seorang nelayan
dengan kemampuan praktis di atas dapat membaca dan menganalisis citra
satelit oseanografi untuk menentukan wilayah tangkapan ikan di sekitar
tempat tinggalnya dengan mudah. Hal ini tentunya akan menghemat biaya
operasional dan meningkatkan hasil tangkapan mereka. Dengan demikian
kita harapkan ada peningkatan kualitas hidup nelayan di Indonesia.
Pengolahan Citra sesi (Optical Character Recogniton)
Metodologi OCR (Optical Character Recogniton) Langkah awal dalam metodologi Optical Character Recogniton adalah
adanya input berupa documen document. Ini di jadikan sebagai masukan untuk proses selanjutnya. Kemudian proses
berlanjut untuk mengubah inputan tersebut menjadi data digital dengan bantuan optical scanner setelah digitalization
terselesaikan. Kemudian masukan berupa dokumen teks, perlu cropping lokasi-lokasi karakter yang akan dikenali untuk
locating character dengan simulasi character matrix. Image Preprocessing – proses yang dibutuhkan adalah
deteksi sisi dan thinning atau skeletonizing untuk mendapatkan obyek karakter dengan ketebalan 1 piksel, proses
sizesing berorientasi untuk mencapai noise cleaning yang diinginkan.feature extractor dilakukan untuk ekstraksi ciri
karakter, misal perhitungan ciri moment atau ciri lainnya, sehingga proses matching yang diinginkan sesuai.decision
maker atau pengambilan keputusan karakter apakah itu dengan membandingkan ciri karakter tersebut dengan
knowledge base yang menyimpan ciri-ciri setiap karakter yang dibangun dalam tahap pelatihan sehingga character
identification dapat terlaksana dengan baik untuk mencapai recognitized character atau merupakan hasil pengenalan
karakter dari input dokument.
Diposkan oleh sobat_ardhi di 01:23 0 komentar
SPL
Bagi nelayan negara maju, pemakaian satelit oseanografi yang
menampilkan citra Suhu Permukaan Laut (SPL) dan sebaran klorofil
merupakan hal rutin dan baku untuk memudahkan mereka mencari daerah
tangkapan ikan potensial.
Sementara untuk nelayan Indonesia masih mengandalkan naluri dan
pengalaman semata untuk menangkap ikan. Disamping itu pemakaian
teknologi maju, sekalipun sudah baku seperti GPS (Global Positioning
System) sebagai alat bantu navigasi yang dapat memandu mereka mencari
lokasi yang ditunjukkan citra satelit oseanografi, sampai saat ini
masih langka dimiliki nelayan tradisionil Indonesia. Tidak heran
apabila sering kita dengar nelayan hilang atau pulang membawa hasil
tangkapan sekadarnya, tanpa nilai tambah untuk perbaikan ekonomi
keluarga mereka.
Aplikasi citra satelit oseanografi yang sudah menjadi kebutuhan dasar
nelayan modern di negara maju, masih merupakan barang mahal bagi
sebagian besar nelayan kita. Walaupun sebenarnya data tersebut telah
tersedia dengan melimpah di media internet dewasa ini, dan hanya
diperlukan pengetahuan praktis sederhana membaca citra satelit untuk
melacak keberadaan ikan di laut. Sebuah ironi yang tidak semestinya
terjadi pada mereka.
Artikel ini memberikan petunjuk praktis pada nelayan agar mereka
mempunyai kemampuan membaca dan menganalisis citra satelit SPL untuk
mencari lokasi ikan.
2. Membaca Citra Satelit
Hal yang pertama kali diperhatikan ketika melihat citra satelit adalah
memeriksa ketepatan overlay antara peta dan nilai besaran parameter
yang ditampilkan. Apabila kita temukan koordinat pada peta tidak
sesuai dengan objek citra, maka proses rektifikasi diperlukan untuk
mengembalikannya pada posisi yang benar. Secara visual cukup membuat
sebangun antara peta bumi dan hasil citra.
Selanjutnya membedakan kontras warna pada citra. Citra daratan yang
direkam pada siang hari menunjukkan warna merah (lebih panas) apabila
dibandingkan dengan laut warna biru (lebih dingin). Hal sebaliknya
terjadi apabila rekaman satelit dilakukan pada malam hari. Pengetahuan
ini diperlukan agar tidak kehilangan orientasi dalam menganalisis
proses fisik yang terjadi di laut.
Kontras warna lainnya adalah hasil rekaman awan. Analisis citra
satelit biasanya ditampilkan sebagai warna putih. Untuk wilayah
Indonesia yang berada di lintang rendah, penampakan awan ini sangat
intensif sehingga bias warna pada pengolahan citra sangat mungkin
terjadi. Terutama untuk membedakannya dengan rekaman arus yang membawa
massa air dingin.
Cara termudah membedakannya dengan melihat rekaman 2 buah citra
satelit dalam kurun waktu pendek (dalam sehari). Perpindahan lokasi
massa air dingin oleh arus laut berlangsung lebih lambat (1-2 m/s)
dibandingkan pergerakan awan (5-20 m/s), sehingga perpindahan objek
citra massa air dingin relatif lebih stabil.
Kedua langkah di atas merupakan prosedur baku yang perlu dilakukan
sebelum menganalisis lokasi keberadaan ikan pada pertemuan dua buah
arus yang membawa massa air dengan perbedaan suhu kontras (convergence
zone atau front) dan upwelling.
3. Analisis Citra Satelit
Upwelling pada umumnya terjadi di pantai, karena angin mendorong massa
air hangat di permukaan ke arah laut lepas dan kekosongan yang terjadi
diisi massa air dingin di dasar/kedalaman yang juga membawa sedimen
dan zat hara sebagai sumber makanan fitoplankton.
Secara visual kelimpahan fitoplankton dapat dilihat dari perairan
sekitar pantai yang berwarna keruh kehijauan. Tanda ini dapat
dijadikan indikasi awal lokasi upwelling atau kesuburan perairan.
Gambar 1 adalah citra satelit SPL NOAA-12 tgl. 28 Juni 2001. Warna
putih yang terdapat di sekitar perairan Barat Sumatra adalah awan.
Gambar 1. Citra suhu permukaan laut satelit NOAA-12 tgl. 28 Juni 2001
di Selat Sunda dan sekitarnya. Skala warna dalam unit derajat Celcius
(Sumber: Laboratorium Remote Sensing dan GIS, P3-TISDA, BPPT
Lingngkaran ungu terjadi di perairan sekitar Teluk Pelabuhan Ratu dan
barat Sumatra. Kedua lokasi ini dapat dijadikan barometer tempat
penangkapan ikan (fishing ground).
Lokasi potensial lainnya adalah mencari daerah pertemuan arus
(convergence zone) ataupun massa air hangat dan dingin (front).
Analisis citra ditunjukkan dengan garis warna merah yang merupakan
pertemuan antara Arus Musim yang bergerak ke arah tenggara (southeast
ward) sejajar pesisir P. Sumatra dan Arus Pantai Selatan Jawa yang
pada Musim Timur bergerak ke arah baratlaut (Northwest ward).
Mengapa daerah tersebut menjadi indikator keberadaan ikan?. Pertemuan
arus membawa semua algae dan rumput laut yang terapung terkonsentrasi
di permukaan dan membentuk garis front sepanjang pertemuan kedua arus
tersebut. Algae dan rumput laut merupakan sumber makanan bagi ikan
kecil dan selanjutnya ikan sedang dan yang lebih besar lagi dalam
teori rantai makanan.
Dengan demikian secara sederhana nelayan dapat mencari ikan besar
dengan mencari lokasi dimana algae ataupun jenis rumput laut banyak
ditemukan dalam formasi garis front (garis merah pada peta sebagai
contoh).
4. Penutup
Mensejahterakan kehidupan nelayan Indonesia dapat dilakukan pemerintah
dengan memberikan informasi terbaru peta sirkulasi arus laut dan
kondisi oseanografi hasil analisis citra satelit di seluruh perairan
Indonesia setiap harinya melalui media yang dapat dengan mudah
dijangkau mereka, seperti radio dan televisi nasional.
Apabila hal tersebut dapat diwujudkan pemerintah, maka seorang nelayan
dengan kemampuan praktis di atas dapat membaca dan menganalisis citra
satelit oseanografi untuk menentukan wilayah tangkapan ikan di sekitar
tempat tinggalnya dengan mudah. Hal ini tentunya akan menghemat biaya
operasional dan meningkatkan hasil tangkapan mereka. Dengan demikian
kita harapkan ada peningkatan kualitas hidup nelayan di Indonesia.
Diposkan oleh sobat_ardhi di 01:02 0 komentar
SPL
Bagi nelayan negara maju, pemakaian satelit oseanografi yang
menampilkan citra Suhu Permukaan Laut (SPL) dan sebaran klorofil
merupakan hal rutin dan baku untuk memudahkan mereka mencari daerah
tangkapan ikan potensial.
Sementara untuk nelayan Indonesia masih mengandalkan naluri dan
pengalaman semata untuk menangkap ikan. Disamping itu pemakaian
teknologi maju, sekalipun sudah baku seperti GPS (Global Positioning
System) sebagai alat bantu navigasi yang dapat memandu mereka mencari
lokasi yang ditunjukkan citra satelit oseanografi, sampai saat ini
masih langka dimiliki nelayan tradisionil Indonesia. Tidak heran
apabila sering kita dengar nelayan hilang atau pulang membawa hasil
tangkapan sekadarnya, tanpa nilai tambah untuk perbaikan ekonomi
keluarga mereka.
Aplikasi citra satelit oseanografi yang sudah menjadi kebutuhan dasar
nelayan modern di negara maju, masih merupakan barang mahal bagi
sebagian besar nelayan kita. Walaupun sebenarnya data tersebut telah
tersedia dengan melimpah di media internet dewasa ini, dan hanya
diperlukan pengetahuan praktis sederhana membaca citra satelit untuk
melacak keberadaan ikan di laut. Sebuah ironi yang tidak semestinya
terjadi pada mereka.
Artikel ini memberikan petunjuk praktis pada nelayan agar mereka
mempunyai kemampuan membaca dan menganalisis citra satelit SPL untuk
mencari lokasi ikan.
2. Membaca Citra Satelit
Hal yang pertama kali diperhatikan ketika melihat citra satelit adalah
memeriksa ketepatan overlay antara peta dan nilai besaran parameter
yang ditampilkan. Apabila kita temukan koordinat pada peta tidak
sesuai dengan objek citra, maka proses rektifikasi diperlukan untuk
mengembalikannya pada posisi yang benar. Secara visual cukup membuat
sebangun antara peta bumi dan hasil citra.
Selanjutnya membedakan kontras warna pada citra. Citra daratan yang
direkam pada siang hari menunjukkan warna merah (lebih panas) apabila
dibandingkan dengan laut warna biru (lebih dingin). Hal sebaliknya
terjadi apabila rekaman satelit dilakukan pada malam hari. Pengetahuan
ini diperlukan agar tidak kehilangan orientasi dalam menganalisis
proses fisik yang terjadi di laut.
Kontras warna lainnya adalah hasil rekaman awan. Analisis citra
satelit biasanya ditampilkan sebagai warna putih. Untuk wilayah
Indonesia yang berada di lintang rendah, penampakan awan ini sangat
intensif sehingga bias warna pada pengolahan citra sangat mungkin
terjadi. Terutama untuk membedakannya dengan rekaman arus yang membawa
massa air dingin.
Cara termudah membedakannya dengan melihat rekaman 2 buah citra
satelit dalam kurun waktu pendek (dalam sehari). Perpindahan lokasi
massa air dingin oleh arus laut berlangsung lebih lambat (1-2 m/s)
dibandingkan pergerakan awan (5-20 m/s), sehingga perpindahan objek
citra massa air dingin relatif lebih stabil.
Kedua langkah di atas merupakan prosedur baku yang perlu dilakukan
sebelum menganalisis lokasi keberadaan ikan pada pertemuan dua buah
arus yang membawa massa air dengan perbedaan suhu kontras (convergence
zone atau front) dan upwelling.
3. Analisis Citra Satelit
Upwelling pada umumnya terjadi di pantai, karena angin mendorong massa
air hangat di permukaan ke arah laut lepas dan kekosongan yang terjadi
diisi massa air dingin di dasar/kedalaman yang juga membawa sedimen
dan zat hara sebagai sumber makanan fitoplankton.
Secara visual kelimpahan fitoplankton dapat dilihat dari perairan
sekitar pantai yang berwarna keruh kehijauan. Tanda ini dapat
dijadikan indikasi awal lokasi upwelling atau kesuburan perairan.
Gambar 1 adalah citra satelit SPL NOAA-12 tgl. 28 Juni 2001. Warna
putih yang terdapat di sekitar perairan Barat Sumatra adalah awan.
Gambar 1. Citra suhu permukaan laut satelit NOAA-12 tgl. 28 Juni 2001
di Selat Sunda dan sekitarnya. Skala warna dalam unit derajat Celcius
(Sumber: Laboratorium Remote Sensing dan GIS, P3-TISDA, BPPT
Lingngkaran ungu terjadi di perairan sekitar Teluk Pelabuhan Ratu dan
barat Sumatra. Kedua lokasi ini dapat dijadikan barometer tempat
penangkapan ikan (fishing ground).
Lokasi potensial lainnya adalah mencari daerah pertemuan arus
(convergence zone) ataupun massa air hangat dan dingin (front).
Analisis citra ditunjukkan dengan garis warna merah yang merupakan
pertemuan antara Arus Musim yang bergerak ke arah tenggara (southeast
ward) sejajar pesisir P. Sumatra dan Arus Pantai Selatan Jawa yang
pada Musim Timur bergerak ke arah baratlaut (Northwest ward).
Mengapa daerah tersebut menjadi indikator keberadaan ikan?. Pertemuan
arus membawa semua algae dan rumput laut yang terapung terkonsentrasi
di permukaan dan membentuk garis front sepanjang pertemuan kedua arus
tersebut. Algae dan rumput laut merupakan sumber makanan bagi ikan
kecil dan selanjutnya ikan sedang dan yang lebih besar lagi dalam
teori rantai makanan.
Dengan demikian secara sederhana nelayan dapat mencari ikan besar
dengan mencari lokasi dimana algae ataupun jenis rumput laut banyak
ditemukan dalam formasi garis front (garis merah pada peta sebagai
contoh).
4. Penutup
Mensejahterakan kehidupan nelayan Indonesia dapat dilakukan pemerintah
dengan memberikan informasi terbaru peta sirkulasi arus laut dan
kondisi oseanografi hasil analisis citra satelit di seluruh perairan
Indonesia setiap harinya melalui media yang dapat dengan mudah
dijangkau mereka, seperti radio dan televisi nasional.
Apabila hal tersebut dapat diwujudkan pemerintah, maka seorang nelayan
dengan kemampuan praktis di atas dapat membaca dan menganalisis citra
satelit oseanografi untuk menentukan wilayah tangkapan ikan di sekitar
tempat tinggalnya dengan mudah. Hal ini tentunya akan menghemat biaya
operasional dan meningkatkan hasil tangkapan mereka. Dengan demikian
kita harapkan ada peningkatan kualitas hidup nelayan di Indonesia.
Diposkan oleh sobat_ardhi di 01:02 0 komentar
Senin, 2008 September 08
Tentang Pengolahan Citra
Pengolahan citra merupakan sebuah bentuk pemrosesan sebuah citra atau gambar dengan cara memproses numeric dari gambar tersebut, dalam hal ini yang diproses adalah masing-masing pixel atau titik dari gambar tersebut. Bentuk umum dari image filtering hampir serupa dengan image processing.
Salah satu teknik pemrosesan citra ini memanfaatkan komputer sebagai peranti untuk memproses masingmasing pixel dari sebuah gambar. Oleh karena itulah muncul istilah pemrosesan citra secara digital atau “Digital Image Processing”. Dalam artikel ini, akan dibahas lebih mendalam mengenai proses filtering yang merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam pemrosesan citra secara digital. Bahkan dalam beberapa kasus, pemrosesan citra sering diidentikkan dengan “Image Filtering”. Image processing sendiri dapat didefiniskan juga sebagai adalah proses filtering sebuah gambar, pixel demi pixel. Istilah manipulasi gambar atau “Image Manipulation” sering juga digunakan untuk menyebutkan istilah pemrosesan citra atau gambar tersebut.
“Digital image processing” diperkenalkan pertama kali di New York, USA pada awal tahun 1920-an. Pertama kalinya digunakan untuk meningkatkan kualitas gambar Koran yang dikirimkan oleh kabel bawah laut yang terbentang antara London dan New York. Sampai tahun 1960-an perkembangannya tidaklah terlalu menggembirakan. Namun pada akhir tahun 1960-an, dimana perkembangan komputer yang pesat dan mampu menawarkan kecepatan dan kapasitas yang lebih tinggi memacu perkembangan dari implementasi algoritma pemrosesan citra yang lebih pesat lagi. Untuk saat ini penggunaan dari pemrosesan citra telah melingkupi berbagai macam disiplin ilmu diantaranya bidang Arsitektur, Geografi, Ilmu
Komputer, Kedokteran, Fotografi, Arkeologi, dan lain sebagainya. Tujuan utama dari “Digital image processing” tersebut selain untuk meningkatkan kualitas gambar yang diperoleh, juga dimaksudkan untuk memproses data yang diperoleh untuk ditanggapi secara otomatis oleh sebuah mesin atau peralatan. Kelebihan dari penggunaan “Digital image processing” adalah dalam hal ketepatan dan flesibilitasnya. Sedangkan kerugiannya adalah dalam hal kecepatan dan biaya sebagai akibat dari pemanfaatan proses yang lebih kompleks.
Selasa, 04 November 2008
JavaScript
JavaScript is a scripting language most often used for client-side web development. It was the originating dialect of the ECMAScript standard. It is a dynamic, weakly typed, prototype-based language with first-class functions. JavaScript was influenced by many languages and was designed to look like Java, but be easier for non-programmers to work with.[1][2]
Although best known for its use in websites (as client-side JavaScript), JavaScript is also used to enable scripting access to objects embedded in other applications (see below).
JavaScript, despite the name, is essentially unrelated to the Java programming language, although both have the common C syntax, and JavaScript copies many Java names and naming conventions. The language was originally named "LiveScript" but was renamed in a co-marketing deal between Netscape and Sun, in exchange for Netscape bundling Sun's Java runtime with their then-dominant browser. The key design principles within JavaScript are inherited from the Self and Scheme programming languages.[3]
"JavaScript" is a trademark of Sun Microsystems. It was used under license for technology invented and implemented by Netscape Communications and current entities such as the Mozilla Foundation.[4]
Contents[hide] |
[edit] History and naming
JavaScript was originally developed by Brendan Eich of Netscape under the name Mocha, which was later renamed to LiveScript, and finally to JavaScript. The change of name from LiveScript to JavaScript roughly coincided with Netscape adding support for Java technology in its Netscape Navigator web browser. JavaScript was first introduced and deployed in the Netscape browser version 2.0B3 in December 1995. The naming tae has caused confusion, giving the impression that the language is a spin-off of Java, and it has been characterized by many as a marketing ploy by Netscape to give JavaScript the cachet of what was then the hot new web-programming language.[5][6]
Microsoft named its dialect of the language JScript to avoid trademark issues. JScript was first supported in Internet Explorer version 3.0, released in August 1996, and it included Y2K-compliant date functions, unlike those based on java.util.Date in JavaScript at the time. The dialects are perceived to be so similar that the terms "JavaScript" and "JScript" are often used interchangeably (including in this article). Microsoft, however, notes dozens of ways in which JScript is not ECMA compliant.
Netscape submitted JavaScript to Ecma International for standardization resulting in the standardized version named ECMAScript.[7]
[edit] Features
[edit] Structured programming
JavaScript supports all the structured programming syntax in C (e.g., if
statements, while
loops, switch
statements, etc.). One partial exception is scoping: C-style block-level scoping is not supported. JavaScript 1.7, however, supports block-level scoping with the let
keyword. Like C, JavaScript makes a distinction between expressions and statements.
[edit] Dynamic programming
- dynamic typing
- As in most scripting languages, types are associated with values, not variables. For example, a variable
x
could be bound to a number, then later rebound to a string. JavaScript supports various ways to test the type of an object, including duck typing.[8] - objects as associative arrays
- JavaScript is almost entirely object-based. Objects are associative arrays, augmented with prototypes (see below). Object property names are associative array keys:
obj.x = 10
andobj["x"] = 10
are equivalent, the dot notation being merely syntactic sugar. Properties and their values can be added, changed, or deleted at run-time. The properties of an object can also be enumerated via afor...in
loop. - run-time evaluation
- JavaScript includes an eval function that can execute statements provided as strings at run-time.
[edit] Functional programming
- first-class functions
- Functions are first-class; they are objects themselves. As such, they have properties and can be passed around and interacted with like any other object.
- inner functions and closures
- Inner functions (functions defined within other functions) are created each time the outer function is invoked, and variables of the outer functions for that invocation continue to exist as long as the inner functions still exist, even after that invocation is finished (e.g. if the inner function was returned, it still has access to the outer function's variables) — this is the mechanism behind closures within JavaScript.
[edit] Prototype-based
- prototypes
- JavaScript uses prototypes instead of classes for defining object properties, including methods, and inheritance. It is possible to simulate many class-based features with prototypes in JavaScript.
- functions as object constructors
- Functions double as object constructors along with their typical role. Prefixing a function call with
new
creates a new object and calls that function with its localthis
keyword bound to that object for that invocation. The function'sprototype
property determines the new object's prototype. - functions as methods
- Unlike many object-oriented languages, there is no distinction between a function definition and a method definition. Rather, the distinction occurs during function calling; a function can be called as a method. When a function is invoked as a method of an object, the function's local
this
keyword is bound to that object for that invocation.
[edit] Others
- run-time environment
- JavaScript typically relies on a run-time environment (e.g. in a web browser) to provide objects and methods by which scripts can interact with "the outside world". (This is not a language feature per se, but it is common in most JavaScript implementations.)
- variadic functions
- An indefinite number of parameters can be passed to a function. The function can both access them through formal parameters and the local
arguments
object. - array and object literals
- Like many scripting languages, arrays and objects (associative arrays in other languages) can each be created with a succinct shortcut syntax. In fact, these literals form the basis of the JSON data format.
- regular expressions
- JavaScript also supports regular expressions in a manner similar to Perl, which provide a concise and powerful syntax for text manipulation that is more sophisticated than the built-in string functions.
[edit] Syntax
- Main article: JavaScript syntax
As of 2008, the latest version of the language is JavaScript 1.8. It is a superset of ECMAScript (ECMA-262) Edition 3. Extensions to the language, including partial E4X (ECMA-357) support and experimental features considered for inclusion into ECMAScript Edition 4, are documented here.
Sample code:
var c = (function(id){
/**
* FunctionDeclaration to be used as a constructor.
*/
function MyConstructor(id) {
this.id = id;
this.init();
}
MyConstructor.prototype = {
init : function() { // function expression.
// block statement with label.
incrementI : {
// Function scope (no block scope).
var x = 10;
}
this.id += x;
},
toString : function() {
return "MyConstructor: id = " + this.id;
}
};
return new MyConstructor(id); // statement.
})(12);
The result of c + "" is "MyConstructor: id = 22";
[edit] Use in web pages
- Main article: Client-side JavaScript
- See also: Ajax (programming)
The primary use of JavaScript is to write functions that are embedded in or included from HTML pages and interact with the Document Object Model (DOM) of the page. Some simple examples of this usage are:
- Opening or popping up a new window with programmatic control over the size, position, and attributes of the new window (i.e. whether the menus, toolbars, etc. are visible).
- Validation of web form input values to make sure that they will be accepted before they are submitted to the server.
- Changing images as the mouse cursor moves over them: This effect is often used to draw the user's attention to important links displayed as graphical elements.
Because JavaScript code can run locally in a user's browser (rather than on a remote server) it can respond to user actions quickly, making an application feel more responsive. Furthermore, JavaScript code can detect user actions which HTML alone cannot, such as individual keystrokes. Applications such as Gmail take advantage of this: much of the user-interface logic is written in JavaScript, and JavaScript dispatches requests for information (such as the content of an e-mail message) to the server. The wider trend of Ajax programming similarly exploits this strength.
A JavaScript engine (also known as JavaScript interpreter or JavaScript implementation) is an interpreter that interprets JavaScript source code and executes the script accordingly. The first ever JavaScript engine was created by Brendan Eich at Netscape Communications Corporation, for the Netscape Navigator web browser. The engine, code-named SpiderMonkey, is implemented in C. It has since been updated (in JavaScript 1.5) to conform to ECMA-262 Edition 3. The Rhino engine, created primarily by Norris Boyd (also at Netscape) is a JavaScript implementation in Java. Rhino, like SpiderMonkey, is ECMA-262 Edition 3 compliant.
The most common host environment for JavaScript is by far a web browser. Web browsers typically use the public API to create "host objects" responsible for reflecting the DOM into JavaScript. The web server is another common application of the engine. A JavaScript webserver would expose host objects representing an HTTP request and response objects, which a JavaScript program could then manipulate to dynamically generate web pages.
A minimal example of a web page containing JavaScript (using HTML 4.01 syntax) would be:
"http://www.w3.org/TR/html4/strict.dtd">
simple page
Your browser either does not support JavaScript, or you have JavaScript turned off.
[edit] Compatibility considerations
- Main articles: Web Interoperability and Web accessibility
The DOM interfaces for manipulating web pages are not part of the ECMAScript standard, or of JavaScript itself. Officially, they are defined by a separate standardization effort by the W3C; in practice, browser implementations differ from the standards and from each other, and not all browsers execute JavaScript.
To deal with these differences, JavaScript authors can attempt to write standards-compliant code which will also be executed correctly by most browsers; failing that, they can write code that checks for the presence of certain browser features and behaves differently if they are not available.[9] In some cases, two browsers may both implement a feature but with different behavior, and authors may find it practical to detect what browser is running and change their script's behavior to match.[10][11] Programmers may also use libraries or toolkits which take browser differences into account.
Furthermore, scripts will not work for all users. For example, a user may:
- use an old or rare browser with incomplete or unusual DOM support,
- use a PDA or mobile phone browser which cannot execute JavaScript,
- have JavaScript execution disabled as a security precaution,
- or be visually or otherwise disabled and use a speech browser
To support these users, web authors can try to create pages which degrade gracefully on user agents (browsers) which do not support the page's JavaScript.
[edit] Security
JavaScript and the DOM provide the potential for malicious authors to deliver scripts to run on a client computer via the web. Browser authors contain this risk using two restrictions. First, scripts run in a sandbox in which they can only perform web-related actions, not general-purpose programming tasks like creating files. Second, scripts are constrained by the same origin policy: scripts from one web site do not have access to information such as usernames, passwords, or cookies sent to another site. Most JavaScript-related security bugs are breaches of either the same origin policy or the sandbox.
[edit] Cross-site vulnerabilities
- Main articles: Cross-site scripting and Cross-site request forgery
A common JavaScript-related security problem is cross-site scripting, or XSS, a violation of the same-origin policy. XSS vulnerabilities occur when an attacker is able to cause a trusted web site, such as an online banking website, to include a malicious script in the webpage presented to a victim. The script in this example can then access the banking application with the privileges of the victim, potentially disclosing secret information or transferring money without the victim's authorization.
XSS vulnerabilities can also occur because of implementation mistakes by browser authors.[12]
XSS is related to cross-site request forgery or XSRF. In XSRF one website causes a victim's browser to generate fraudulent requests to another site with the victim's legitimate HTTP cookies attached to the request.
[edit] Misunderstanding the client-server boundary
Client-server applications, whether they involve JavaScript or not, must assume that untrusted clients may be under the control of attackers. Thus any secret embedded in JavaScript could be extracted by a determined adversary, and the output of JavaScript operations should not be trusted by the server. Some implications:
- Web site authors cannot perfectly conceal how their JavaScript operates, because the code is sent to the client, and obfuscated code can be reverse engineered.
- JavaScript form validation only provides convenience for users, not security. If a site verifies that the user agreed to its terms of service, or filters invalid characters out of fields that should only contain numbers, it must do so on the server, not only the client.
- It would be extremely bad practice to embed a password in JavaScript (where it can be extracted by an attacker), then have JavaScript verify a user's password and pass "password_ok=1" back to the server (since the "password_ok=1" response is easy to forge).[13]
It also does not make sense to rely on JavaScript to prevent user interface operations (such as "view source" or "save image"). This is because a client could simply ignore such scripting. [14]
[edit] Browser and plugin coding errors
JavaScript provides an interface to a wide range of browser capabilities, some of which may have flaws such as buffer overflows. These flaws can allow attackers to write scripts which would run any code they wish on the user's system.
These flaws have affected major browsers including Firefox[15], Internet Explorer[16], and Safari.[17]
Plugins, such as video players, Macromedia Flash, and the wide range of ActiveX controls enabled by default in Microsoft Internet Explorer, may also have flaws exploitable via JavaScript, and such flaws have been exploited in the past.[18][19] In Windows Vista, Microsoft has attempted to contain the risks of bugs such as buffer overflows by running the Internet Explorer process with limited privileges.[20]
[edit] Sandbox implementation errors
Web browsers are capable of running JavaScript outside of the sandbox, with the privileges necessary to, for example, create or delete files. Of course, such privileges aren't meant to be granted to code from the web.
Incorrectly granting privileges to JavaScript from the web has played a role in vulnerabilities in both Internet Explorer[21] and Firefox[22]. In Windows XP Service Pack 2, Microsoft demoted JScript's privileges in Internet Explorer.[23]
Some versions of Microsoft Windows allow JavaScript stored on a computer's hard drive to run as a general-purpose, non-sandboxed program. This makes JavaScript (like VBScript) a theoretically viable vector for a Trojan horse, although JavaScript Trojan horses are uncommon in practice.[24] (See Windows Script Host.)
[edit] Uses outside web pages
Outside the web, JavaScript interpreters are embedded in a number of tools. Each of these applications provides its own object model which provides access to the host environment, with the core JavaScript language remaining mostly the same in each application.
- ActionScript, the programming language used in Adobe Flash, is another implementation of the ECMAScript standard.
- Apple's Dashboard Widgets, Microsoft's Gadgets, Yahoo! Widgets, Google Desktop Gadgets are implemented using JavaScript.
- The Mozilla platform, which underlies Firefox and some other web browsers, uses JavaScript to implement the graphical user interface (GUI) of its various products.
- Adobe's Acrobat and Adobe Reader (formerly Acrobat Reader) support JavaScript in PDF files.
- Tools in the Adobe Creative Suite, including Photoshop, Illustrator, Dreamweaver and InDesign, allow scripting through JavaScript.
- Microsoft's Active Scripting technology supports the JavaScript-compatible JScript as an operating system scripting language.
- The Java programming language, in version SE 6 (JDK 1.6), introduced the
javax.script
package, including a JavaScript implementation based on Mozilla Rhino. Thus, Java applications can host scripts that access the application's variables and objects, much like web browsers host scripts that access the browser's Document Object Model (DOM) for a webpage.[25][26] - Applications on the social network platform OpenSocial are implemented in JavaScript.
- Newer versions of the Qt C++ toolkit include a
QtScript
module to interpret JavaScript, analogous tojavax.script
.[27] - The interactive music signal processing software Max/MSP released by Cycling '74, offers a JavaScript model of its environment for use by developers. It allows much more precise control than the default GUI-centric programming model.
- Late Night Software's JavaScript OSA (aka JavaScript for OSA, or JSOSA), is a freeware alternative to AppleScript for Mac OS X. It is based on the Mozilla 1.5 JavaScript implementation, with the addition of a
MacOS
object for interaction with the operating system and third-party applications.[28] - ECMAScript was included in the VRML97 standard for scripting nodes of VRML scene description files.
- Some high-end Philips universal remote panels, including TSU9600 and TSU9400, can be scripted using JavaScript.[29]
- Sphere is an open source and cross platform computer program designed primarily to make role-playing games that uses JavaScript as scripting language.
- Adobe Integrated Runtime is a JavaScript runtime that allows developers to create desktop applications.
- GeoJavaScript enables access to the geospatial extensions in PDF files using TerraGo Technologies GeoPDF Toolbar and Adobe Acrobat and Reader.
[edit] Debugging
Within JavaScript, access to a debugger becomes invaluable when developing large, non-trivial programs. Because there can be implementation differences between the various browsers (particularly within the Document Object Model) it is useful to have access to a debugger for each of the browsers a web application is being targeted at.
Currently, Internet Explorer, Firefox, Safari, and Opera all have third-party script debuggers available for them.
Internet Explorer has three debuggers available for it: Microsoft Visual Studio is the richest of the three, closely followed by Microsoft Script Editor (a component of Microsoft Office[30]), and finally the free Microsoft Script Debugger which is far more basic than the other two. The free Microsoft Visual Web Developer Express provides a limited version of the JavaScript debugging functionality in Microsoft Visual Studio.
Web applications within Firefox can be debugged using the Firebug plug-in, or the older Venkman debugger, which also works with the Mozilla browser. Firefox also has a simpler built-in Error Console, which logs JavaScript and CSS errors and warnings.
Drosera is a debugger for the WebKit engine[31] on Macintosh and Windows[32] powering Apple's Safari.
There are also some free tools such as JSLint, a code quality tool that will scan JavaScript code looking for problems[33], as well as a non-free tool called SplineTech JavaScript HTML Debugger.[34]
Since JavaScript is interpreted, loosely-typed, and may be hosted in varying environments, each with their own compatibility differences, a programmer has to take extra care to make sure the code executes as expected in as wide a range of circumstances as possible, and that functionality degrades gracefully when it does not.
[edit] Versions
Version | Release date | Equivalent to | Netscape
Navigator | Mozilla
Firefox | Internet
Explorer | Opera | Safari |
---|---|---|---|---|---|---|---|
1.0 | March 1996 |
| 2.0 |
| 3.0 |
|
|
1.1 | August 1996 |
| 3.0 |
|
|
|
|
1.2 | June 1997 |
| 4.0-4.05 |
|
|
|
|
1.3 | October 1998 | ECMA-262 1st edition / ECMA-262 2nd edition | 4.06-4.7x |
| 4.0 |
|
|
1.4 |
|
| Netscape
Server |
|
|
|
|
1.5 | November 2000 | ECMA-262 3rd edition | 6.0 | 1.0 | 5.5 (JScript 5.5),
6 (JScript 5.6), 7 (JScript 5.7), 8 (JScript 6) | 6.0,
7.0, 8.0, 9.0 |
|
1.6 | November 2005 | 1.5 + Array extras + Array and String generics + E4X |
| 1.5 |
|
|
|
1.7 | October 2006 | 1.6 + Pythonic generators + Iterators + let |
| 2.0 |
|
| 3.x |
1.8 | June 2008 | 1.7 + Generator expressions + Expression closures |
| 3.0 |
|
|
|
1.9 |
| 1.8 + New Features |
| 3.1 |
|
|
|
The next major version of JavaScript, 2.0, will conform to ECMA-262 4th edition.[35]
[edit] Related languages
There is not a particularly close genealogical relationship between Java and JavaScript; their similarities are mostly in basic syntax because both are ultimately derived from C. Their semantics are quite different and their object models are unrelated and largely incompatible. In Java, as in C and C++, all data is statically typed, whereas JavaScript variables, properties, and array elements may hold values of any type.
The standardization effort for JavaScript also needed to avoid trademark issues, so the ECMA 262 standard calls the language ECMAScript, three editions of which have been published since the work started in November 1996.
Microsoft's VBScript, like JavaScript, can be run client-side in web pages. VBScript has syntax derived from Visual Basic and is only supported by Microsoft's Internet Explorer.
JSON, or JavaScript Object Notation, is a general-purpose data interchange format that is defined as a subset of JavaScript.
JavaScript is also considered a functional programming language like Scheme and OCaml because it has closures and supports higher-order functions.[36]
Mozilla browsers currently support LiveConnect, a feature that allows JavaScript and Java to intercommunicate on the web. However, support for LiveConnect is scheduled to be phased out in the future.
Sumber : Wikipedia, the free encyclopedia